Oleh : (esa) Merli Sentosa
Di malan itu. Jumat (2/8/2019) malam. Sekitar pukul 19 WIB. Persisnya saya tak tahu. Tak terpikir melihat jam di handphone. Saya memang tak memakai Arloji. Belum kebeli. Begitu kira-kira.
Saya di telephon. Oleh tamong. Rumahnya seberang jalan. Ke kanan jika mengadap utara. Jarak tiga rumah. Di Sukamarga, Padangcahya, Balikbukit, Lampung Barat.
Tamong adalah sapaan untuk untuk orang yang setingkat kakek di sana.
Di ujung ponselnya, terdengar dia menanyakan senapan angin. Model lawas. Untuk mengusir hama babi. Yang kerap mengganggu tanaman ubi jalarnya.
Mungkin pengaruh sinyal, suaranya kurang jelas. Saya meminta beliau untuk ke rumah.
Dia pun tiba, kurang dari 3 menit.
Saya buka pintu. Kami duduk di kursi ruang depan. Di rumah saya, yang belum rampung itu.
Kami berbincang. Seputaran senapan angin. Untuk mengusir hama tanaman. Yang katanya sudah cukup bandel.
Tengah berbincang, terasa ada getaran. Kukuk. Kukuk adalah sebutan kami jika gempa bumi.
Tamong itu kembali ke rumahnya.
Saya lantas membangunkan istri dan dua putra saya. Akbar Syahdan, anak laki-laki kedua saya. Dan Albertina Behril, anak perempuan saya yang masih lucu-lucunya. Sementara si sulung, A Hilton Ghufro masih di TPA. Belajar mengaji.
Belum saja saya turun dari tangga menuju ruang tengah yang lebih rendah dari ruang depan itu, saya lihat istri dan dua anak saya berlari keluar kamar.
Kami menuju jalan. Kami khawatir tiang listrik. Kami pun terus ke samping rumah seberang jalan.
Rupanya bukan kami saja yang keluar rumah. Tetangga juga berhamburan menuju lokasi yang dianggap aman.
Tak lama, gempa pun berakhir. Saya buka WhatsApp saya. Di status kontak rekan di Pesawaran, tertulis "gempa barusan".
Bukan hanya dia. Setidaknya dua status rekan di Liwa juga menulis serupa.
Saya buka group di WA, pesan berantai. Gempa juga terasa hingga Jawa Barat.
Saya penasaran. Sembari mengendong putri saya, saya berupaya mencari informasi. Di mana pusat gempa. Berapa kekuatannya.
Kami kembali ke dalam rumah. Demikian pula tetangga lainnya. Namun baru saja menginjakkan kaki di ruang depan, pesan berantai kembali masuk.
Peringatan dini tsunami. Bulu kuduk saya sedikit merinding. Terasa berbanding terbalik saat masih beranjak dewasa dulu. Saat jatuh cinta. Apalagi si dia kerap mencubit mesra.
Saya baca dengan seksama. Saya terkejut. BMKG memberikan Peringatan Dini Tsunami untuk wilayah Banten, Bengkulu, Lampung dan Jawa Barat.
Itu setelah Gempa Mag 7.4 menguncang tadi, pada 2 Agustus pukul 19:03:21 WIB.
Lokasi gempa di 7.54 LS, 104.58 BT (147 Km Barat Daya SUMUR-BANTEN), dengan Kedalaman 10 Km.
Peringatan dini tsunami berakhir sekitar pukul 21.45 WIB.
Gempa itu kemudian dimutakhirkan. Dengan pusat gempa terletak pada koordinat 104.75 derajat BT dan 7.32 derajat LS pada kedalaman 48 km, berjarak 164 km barat daya Kota Pandeglang, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Seketika, ingatan kembali ke tahun 1994. Saat gempa liwa.
Saya kurang tahu persis berapa korban dan seberapa parah kerusakan dampak gempa kala itu. Yang saya ingat, itu tengah malam. Saya masih kelas IV sekolah dasar di kampung halaman tempat tinggal kami kini.
Malam itu, saya masih terjaga. Saya menyaksikan persis bagaimana tembok itu runtuh. Telinga saya juga mendengar permintaan tolong.
Saya kurang mengerti betul apa yang terjadi.
Namun saya kutip dari Wikipedia.
Gempa bumi Liwa 1994 terjadi pada 15 Februari 1994 yang mengakibatkan kerusakan parah di Liwa, Kabupaten Lampung Barat dengan gempa berpusat di Sesar Semangko, Samudera Hindia. Menelan Korban: 196 orang tewas; 2000 orang terluka.
Jujur, ada trauma saat atau mendengar terjadi gempa. Ingatan kembali ke tahun itu. Tahun yang penuh pekikan minta tolong. Dan tak henti menyebut nama Yang Maha Kuasa malam itu.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melindungi kita semua. Aamiin. (*)