"Sempat dicoba budidaya ikan lele. Tapi iklim tidak cocok di Lambar dan pemasarannya kalah dengan ikan nila," ujar Kabid Pemasaran dan Pengendalian, Dinas Perikanan Lambar, Relegius Hilman, Selasa (30/1).
Dikatakan, Diskan pada tahun 2014 sempat menggerakkan budidaya ikan lele dengan sistem bio flock. Sekita 24 paket plus benih, pakan dan obat-obatan termasuk peralatan yang menjaga suhu ikan lele, dibagikan kepada kelompok dan perorangan.
Secara tiori tampak menjanjikan. Namun faktanya tak mampu meningkatkan perekonomian warga.
Dari segi usaha, budidaya lele tak menjanjikan, selain harus bermodal lebih, produksi juga tak sesuai tiori.
Dikatakan, secara keseluruhan setiap pembudidaya harus merogoh modal awal Rp5 juta perpaket. Untuk pembelian bio glock, termasuk 5 ribu benih, dan kebutuhan lain.
Dalam waktu tiga bulan hanya mampu menghasilkan produksi 300kg saja. Sementara dalam tiori 700kg.
Harga juga relatif lebih murah, yakni hanya Rp15 ribu per Kg.
"Dan pemasarannya juga sulit. Peminatnya kurang. Jadi dalam hitungan secara ekonomi tak menjanjikan," tandasnya. (red)