Tak Sementereng Komoditasnya, Begini Nasib Pekebun Kopi di Lambar - matapenanews.com | Mata Pena News

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Rabu, 07 Februari 2018

Tak Sementereng Komoditasnya, Begini Nasib Pekebun Kopi di Lambar

MATAPENANEWS.com--Nasib pekebun kopi di Lampung Barat (Lambar) Provinsi Lampung kini tak sementereng komoditasnya yang dikenal pangsa pasar dunia itu. Sejak dua bulan tetakhir dirundung peceklik.
Faktor gagal panen raya tahun 2017 disebut menjadi pemicu utama. Kini, untuk kebutuhan sehari-hari saja, terpaksa harus berhutang.
Warga Kecamatan Batubrak, Mad Badri, terpaksa harus berhutang kepada pengepul komoditas yang tersohor hingga manca negara itu sejak dua bulan terakhir.
"Tahun lalu produktivitas kebun kopi saya menurun draktis, hanya menghasiklan biji kering lima kuintal saja," keluh Badri, Rabu (7/2).
Dari jumlah itu, Badri mengasilkan uang Rp10 juta, karena hanya dihargai Rp20 ribu/Kg.
Dari nilai rupiah itulah dia memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari selama satu tahun, dari panen raya ke panen raya berikutnya.
Bahkan, untuk biaya melakukan perawatan kebunnya juga disisihkan dari hasil penjualan kopinya itu.
"Jauh dari cukup, yang ada saya pinjam dulu ke bos kopi dengan konsekuensi dibayar setelah panen depan. Dan hasil panen tahun ini di jual ke bos kopi tempat berhutang tadi," ungkap Badri lirih.
Nasib serupa ternyata dipikul pekebun kopi lainnya, terutama yang hanya menggantungkan hidup dari hasil komoditi yang sempat dipelajari Vietnam sekitar tahun 1980-an tersebut.


Di Kecamatan Belalau, Syahlan juga mengungkapkan kegelisahannya sejak paceklik melanda.
"Saat ini petani kopi benar-benar menangis. Tadi pagi saya ke pasar untuk membeli rokok lintingan yang akan saya jadikan stok untuk bekal bermalam di kebun. Saya tidak mampu lagi untuk membeli rokok jadi. Terpaksa seadanya saja, asal bisa merokok," kata dia mencoba menggambarkan kondisi ekonomi yang merundung.
Peceklik nyaris menyerang seluruh pekebun kopi, itu tergambar di pasar tradisional di Belalau.
"Di pasar juga sepi, enggak seperti biasanya. Pedagang di pasar juga pada mengeluh karena sepinya pembeli," kata Syahlan.
Krisis itu ternyata juga bukan hanya melanda pekebun kopi, tapi juga meransek ke pengepul. Sejumlah bos kopi, demikian warga setempat menyebut penepul kopi, uring-uringan.
Pasalnya, petani ramai-ramai berhutang, kondisi yang membudaya saat peceklik.
"Ya kalau tidak bisa kasih pinjam petani, petani tidak akan menjual hasil panennya kepada kami nanti. Mereka akan menjual kopi kepada bos kopi yang membantu mereka saat situasi sulit seperti sekarang," kata Anjurni, salah satu bos kopi di Batubrak.
Hal yang sama juga dialami Indra, yang juga berprofesi sebagai pembeli kopi dari petani. Menurut Indra, saat paceklik terjadi akan berimbas negatif pada profesi mereka sebagai pengepul kopi.
"Lihat saja gudang saya sekarang tidak terdapat kopi sama sekali," ujarnya.
Tak sampai di situ, paceklik ternyata merambah ke pedagang di pasar-pasar tradisional di Lambar. Pasar terlihat sepi pengunjung hingga turun sampai 60 persen lebih.
"Dagangan saya susah lakunya. Mau dijual murah saja jarang pembeli. Kalau dijual murah pasti rugi. Tapi kalau tidak begitu stok barang menumpuk dan akan membusuk, apalagi pedagang sayur seperti saya," ujar Senuri, pedagang Sayur dari kecamatan Sukau ini. (red)

Post Bottom Ad