Catatan Wartawan-- Belum Tentu Semua Orang Bisa Menjadi Jurnalis - matapenanews.com | Mata Pena News

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Selasa, 23 Oktober 2018

Catatan Wartawan-- Belum Tentu Semua Orang Bisa Menjadi Jurnalis

Merly Sentosa (Pendiri/General Manager: MataPenaNews.com)



Saat itu saya menggeluti aktivitas sebagai loper koran lokal di Lampung Barat, sekitar awal tahun 2009. Dua koran ternama Provinsi Lampung dan sejumlah majalah nasional juga saya antar door to door ke sekitar 200 pelanggan.

Selain loper, saya juga honorer di salah satu sekolah tingkat menengah pertama swasta di bawah naungan Kator Departeman Agama (Kandepag) Lambar, kini Kantor Kementerian Agama. Mengambil jam pertama dan kedua. Untuk selanjutnya berangkat di salah satu agen koran di Pasar Liwa, Balikbukit.

Setiap hari saya bergelut dengan oplah koran. Apapun yang terjadi koran yang saya bawa dengan sepeda motor harus sampai ke pelanggan. Jika tidak, risiko penagihan bakal cukup sulit. Dampaknya, gaji sekitar Rp650 ribu perbulan harus telat diterima dari jadwal biasanya.

Mau tak mau, bagaimana pun iklim dan seperti apapun kondisi cuaca harus diterjang. Yang sedikit menyedihkan, saat turun hujan. Kertas koran yang pantang terkena air itu bak mengurus bayi. Dibungkus plastik dengan sedemikian rupa. Apalagi Liwa memang dikenal dingin, kerap musim hujan saat itu.

Saat tiba di rumah pelanggan, tangan yang basah saat menerobos hujan harus dikeringkan, saya lap dengan baju terbungkus mantel--jas hujan-- yang saya kenakan.

Demikian pula kala musim panas, terkadang wajah terbakar. Pedih terasa saat dibasuh.

Demikian, terus menerus aktivitas selama tujuh hari dalam sepekan. Satu tahun pasti saya geluti aktivitas tersebut.

Sedemikian dekat. Sedemikian cinta dengan tulisan tergores pada lembaran berbahan baku kertas itu, saya menjadi tertarik menjadi seorang penulis, pencari berita, wartawan, jurnalis. Ini sekitar pertengahan 2009.

Saat menjadi loper, saya bersama seorang teman, Mony-- sebut saja begitu. Saya bertanya kepada Mony. "Tek dimana tempat belajar menjadi wartawan," itu yang saya ingat pertanyaan yang saya lontarkan.

'Tek' adalah sapaan akrab untuk seorang teman yang telah lama bersama. Demikian pangilan sehari-hari di Liwa dan sekitarnya kepada teman sejawat.

Dia juga bingung menjawab, namun ternyata Mony juga berniat menjadi seorang jurnalis.

Hari itu, kami belum menememukan siapa yang bakal menjadi guru kami.

Keesokan harinya, saya kembali bertanya kepada rekan loper lain, mas Eko. Dia lantas menunjukkan seorang mantan wartawan harian besar dan terkemuka di Lampung, Radar Lampung, group perusahaan penerbitan dengan jaringan terluas di tanah air, Jawapos, Andi Gunawan.

Dia mengundurkan diri lantaran mencalon menjadi Anggota DPRD Lampung Barat 2009, dari salah satu dapil di Krui, saat itu Pesisir Barat belum daerah otonomi baru (DOB). Masih bagian dari wilayah Lampung Barat. Meski akhirnya beliau tak duduk di kursi wakil rakyat kala itu.

Udo Andi. Udo adalah sapaan akrab kepada seorang anak sulung di Krui. Demikian kami menyapa Andi Gunawan. Dia tegas, cukup profesional sebagai seorang jurnalis. Dan disegani.

Udo Andi saat itu kembali aktif menjadi wartawan, membuka penerbitan koran mingguan, Fokus Post. Dia pemimpin redaksinya, penanggungjawab, dan dewan redaksi.

Saya ingat, jika tidak salah hari Selasa di bulan Agustus 2009. Saya mengadap beliau. Langsung membawa berkas lamaran dengan melampirkan legalisir ijazah setingkat sekolah menengah atas, MA Nurul Islam, Kelakah, Lumajang, Jawa Timur (Jatim).

Setelah menyampaikan niat saya, Udo Andi tampaknya tak yakin. "Kenapa mau jadi wartawan. Wartawan itu, susah, payah. Duit gak ada, kerjanya ya!" Demikian kata yang saya ingat hingga kini.

"Kamu pulang dulu. Pikir matang-matang," itu kalimat kedua yang saya dengar.

Setelah duduk sejenak, saya pulang ke kontrakan, di Padangcahya. Istri yang saya nikahi pertengahan tahun 2007 dan balita laki-laki sulung saya yang lahir Agustus 2008 ternyata tak ada di rumah. Main ke kebun rupanya. Bersama mertuanya yang perempuan, ibu tercinta saya.

Sejak sore itu saya terus berpikir. Malam pun tak bisa tidur. "Emang kayak mana sih susahnya jadi wartawan," demikian kata yang berkecamuk dalam hati dan pikiran saya.

Setelah mengantar langganan koran, saya kembali menghadap Udo Andi. Lagi-lagi kalimat serupa yang saya dengar. Saya pun kembali pulang. Dan semakin penasaran sekaligus bertekad "Saya pasti bisa".

Hari itu Kamis, semua wartawan mingguan penerbitan lokal itu tengah kumpul. Diproyeksi.

Usai memberikan arahan kepada sejumlah wartawannya, Udo Andi memanggil saya. Saya masuk, duduk di kursi depan mejanya. "Sudah berpikir? Sudah bulat?" Demikian pertanyaan beliau. Saya menjawab singkat, "sudah".

Awal bekerja saya ditugaskan meliput di kabupaten tetangga, di provinsi tetangga pula, Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan. Sekaligus merintis dan membesarkan sebaran koran mingguan itu di pemkab yang beribukotakan Muara Dua tersebut.

Saya jalankan saran dan petunjuk pimpinan. Saya dididik keras oleh Udo Andi. Salah koma saja, saya pun ditatar. Demikian gambaran pola ia mengajar wartawannya menulis. Dan satu hal yang saya tangkap. Udo Andi tak suka kegagalan.

Di OKU Selatan, sekitar setahun saya bertugas di kabupaten baru itu. Karena sekitar akhir tahun 2010, koran mingguan ini tak lagi cetak. Saya nganggur, banyak kawan-kawan yang dekat menawarkan untuk bergabung. Namun saya masih menunggu saran Udo Andi, meski kami sudah jarang bertemu.

Sekitar pertengahan 2011, Udo Andi kembali membuka penerbitan. Kali ini terbit per hari. Awalnya bernama Warna Lambar. Namun karena suatu hal, akhirnya terbit dengan dengan nama Warta Lambar.

Udo Andi menghubungi saya. Meminta saya menghadap di kantor yang sudah ia persiapkan. Beliau bercerita prihal penerbitan itu.

Terus terang, saya sempat pesimis saat ditawari menjadi redaktur. Alasannya, jam terbang saya serasa masih sedemikian minim.

Sebagai orang yang mendidik saya dari nol, Udo Andi tetap menyakinkan saya. Saya pun menyanggupinya. Dengan permintaan. Saya minta selalu 'dituntun' dan tetap diarahkan.

Kami berdua pun membuat halaman. Sudah disetujui, sampul berlabel Warta Lambar. Sementara halaman dalam dilabeli daerah pemilihan disingkat DP.

Kami terus dilatih, sekitar tiga bulan sebelum dilaunching. Dirasa sudah layak. Warta Lambar pun terbit.

Saya pun mundur dari honorer, ingin fokus bekerja sebagai jurnalis yang saya cintai ini.

Sekitar April 2012, saya mengajukan pengunduran diri dari wartawan sekaligus Plt Wakil Pemimpin Redaksi Warta Lambar saat itu. Penguduran diri saya diterima.

Sekitar tanggal 24 April 2012, saya resmi bergabung dengan SKH Lampung NewsPaper, koran devisi II Radar Lampung group, fokus liputan ekonomi bisnis dan politik.

Hingga tulisan ini saya rilis, Selasa 23 Oktober 2018. Saya masih aktif dan bekerja di Lampung NewsPaper.

Selama kurun waktu sembilan tahun saya menggeluti pekerjaan sebagai jurnalis. Suka duka banyak dijalani. Tapi satu hal, saya bangga dengan jurnalis. Dari jurnalis saya hidupi tiga putra dan istri saya.

Yang pasti! Belum tentu semua orang bisa menggeluti pekerjaan sebagai jurnalis. (*)

Post Bottom Ad